Review Big Little Lies karya Liane Moriarty

cover depan novel big little lies

Para tokoh utama Big Little Lies berdiri di atas tumpukan masalah. Ada bullying, ada diskriminasi. Ada "politik" antar wali murid sebuah TK di kota kecil, dan ada hubungan tidak sehat serta trauma masa lalu yang terus-menerus membayangi.

Yang jelas, sulit untuk menggambarkan semua konflik dalam Big Little Lies hanya dengan satu kata, atau pun satu tema.

Namun jika harus memilih satu ikatan benang yang menyatukan para tokoh dalam novel karya Liane Moriarty ini, yang terpikirkan dalam benak saya adalah 'suka duka menjadi orang tua'.

Tiga Ibu dengan Tiga Cerita

Lewat Big Little Lies, Liane Moriarty, seorang penulis berkebangsaan Australia, menyuguhkan pada pembaca serangkaian kisah dengan tiga tokoh utama—Jane, Madeline, dan Celeste.

Seorang ibu tunggal yang akan mengantarkan putranya ke sebuah TK di Pirriwee Public School; seorang wanita paruh baya dengan tiga anak yang harus bertemu rutin dengan mantan suami yang dibenci; serta seorang wanita dengan sepasang anak kembar, suami kaya, dan kehidupan mewah yang kerap disebut orang lain sebagai 'puncak kesempurnaan'.

Namun tentu saja, di dunia ini tidak ada yang sempurna. Begitu pula kehidupan tiga wanita dalam cerita ini—sangat jauh dari kata sempurna.

Terlepas dari rasa cinta yang besar terhadap keluarga masing-masing, baik Jane, Madeline, maupun Celeste terus dibayang-bayangi oleh trauma dan rasa rendah diri mereka. Hal yang nampaknya menjadi berkah di mata orang lain (kehidupan single, anak yang ceria, atau suami yang perhatian), justru menyimpan kebohongan dan kekecewaan yang mati-matian berusaha mereka tutupi.

Pertanyaannya, layakkah dusta-dusta 'kecil' itu terus mereka pendam demi sebuah gambaran keluarga yang sempurna?

Spesifikasi Buku Big Little Lies


Mata-mata yang Menghujat

Dari awal kisah ini dibuka, karakter Celeste langsung menarik perhatian saya.

Namanya telah disebutkan sejak percakapan pertama Jane dengan Madeline, dan kerap digumamkan dengan penuh rasa iri oleh tokoh-tokoh lain.

Ada yang mengapresiasi kecantikannya. Ada pula yang terang-terangan tertarik dengan eksistensi suaminya.

Madeline, di lain pihak, segera menemukan kesamaan dalam sikap hati-hati dan ekspresi ragu yang mewarnai tingkah laku Jane dan Celeste. Dengan campur tangan Madeline, ketiganya langsung menjadi teman akrab—satu kubu yang saling mendukung dalam pusaran 'politik' Pirriwee Public School yang penuh gunjingan dan kompetisi memamerkan status.

Seperti bisa ditebak, dalam strata politik tersebut, Celeste—atau lebih tepatnya, sang suami—berdiri di puncak rantai makanan. Semua orang memuji keserasian dan kemesraan pasangan suami-istri tersebut. Berkat suaminya kaya dan penuh cinta, tidak ada yang menyinggung bagaimana Celeste berhenti dari pekerjaannya sebagai pengacara dan tinggal di rumah untuk mengurus kedua anak kembar mereka.

Sayangnya, mata-mata yang terus menatapnya dengan rasa iri itu tidak melihat bahwa di balik kemewahan dan keharmonisan pernikahannya, hubungan Celeste dengan suaminya justru tengah diwarnai dengan pertengkaran yang kerap berujung pada kekerasan.

Orang-orang hanya melihat penampilan luar Celesta yang selalu rapi dan menarik, serta ribuan gestur romantis yang ditampakkan suami Celeste di depan umum. Tidak ada pemikiran bahwa ada masalah di balik senyum Celeste atau pun kelakar tawa suaminya.

Salah satu kutipan dalam novel Big Little Lies.

Sementara itu, Jane dan Madeline lebih sering mendapat pandangan negatif dari orang-orang.

Jane, yang merupakan seorang ibu tunggal dan pendatang baru di kota itu, kerap menerima pandangan sinis karena sifatnya yang tertutup dan caranya mengurus anak. Atmosfer tak ramah ini makin menjadi ketika anak laki-laki Jane, Ziggy, dituduh merisak (mem-bully) teman sekelasnya.

Di lain pihak, Madeline yang punya kerja paruh waktu dan telah dua kali menikah, dianggap tukang bikin onar berkat sifatnya yang blak-blakan dan kata-katanya yang selalu pedas. Orang-orang menganggapnya sebagai pengaruh buruk, berbeda jauh dengan si ramah Bonnie, wanita muda yang menikah dengan mantan suami Madeline dan sumber semua 'masalah' Madeline saat ini.

Namun sama seperti Celeste, Jane dan Madeline tetap berusaha tampil 'baik-baik saja' di hadapan publik, meskipun terkadang mereka pun dihantam oleh perasaan rendah diri dan keraguan soal cara mereka membentuk keluarga masing-masing.

Yang Tidak Nampak di Layar Utama

Baik Jane, Madeline, dan Celeste paham betul bahwa ada banyak celah dalam kehidupan pribadi mereka; masalah-masalah yang mereka anggap tak layak diumbar di muka umum.

Celeste, terutama, merasa tidak cukup layak untuk komplain soal kehidupan rumah tangganya ketika Perry, sang suami, selalu memanjakannya dengan perhiasan dan kartu kredit tak berlimit. Belum lagi, Perry merupakan ayah yang baik dan penuh perhatian terhadap anak-anak mereka.

Oleh karena itu, saya bisa memahami kebingungan Celeste dan keengganannya untuk meninggalkan Perry. Saya juga tidak terkejut ketika akhirnya kisah novel ini menemukan penyelesaiannya secara tiba-tiba seratus halaman kemudian.

Seperti seember air es yang disiramkan ke tengah api di antara rekahan tanah, dari luar, tak ada banyak yang berubah. Hidup berjalan, orang-orang bergerak. Hanya mereka yang menyadari keberadaan api itu saja yang kini tak merasa dibakar dari dalam.

cover lama novel big little lies
Cover lama Big Little Lies
(sebelum diadaptasi menjadi serial HBO)

KDRT, Kekerasan Seksual, dan Bullying—Sederet Rantai Masalah

Big Little Lies bukan kisah misteri, apalagi cerita romansa. Penyampaiannya memang tidak berat, tapi topik yang diangkat cukup untuk membuat hati bergetar.

Bagi pembaca yang mudah terpancing dengan adegan KDRT, kekerasan seksual, dan bullying, saya menyarankan bagi Anda untuk menyiapkan mental sebelum membaca novel ini.

Jujur saja, rasanya menakutkan saat menyadari bahwa hal-hal mengerikan ini terjadi di dunia nyata. Apalagi jika ternyata orang-orang di sekitar kita yang menjadi korban, sementara kita sama sekali tidak menyadarinya.

Lebih parah lagi jika—tidak seperti Jane, Madeline, atau Celeste—para korban di dunia nyata ini tidak memiliki support system yang bisa 'melindungi' mereka saat situasi berubah menjadi mengancam nyawa.

Belajar dari novel ini, maka sudah selayaknya bagi kita untul memberi perhatian lebih kepada keluarga dan teman-teman kita di dunia nyata. Terutama agar kita bisa segera menyadari jika mereka berada dalam kondisi yang 'tidak baik-baik saja'.

Yang agak saya sesalkan dari Big Little Lies adalah tidak adanya interaksi lebih lanjut antara Celeste dan kedua temannya di akhir kisah. Kekosongan yang terasa di bab penutup rasanya membuka jalan untuk terlalu banyak kemungkinan. Namun, terlalu banyak pertanyaan juga yang segera mengisi benak saya.

Apakah mereka masih berteman? Akankah Jane menetap di kota itu untuk seterusnya? Kehidupan seperti apa yang akan Celesta jalani selanjutnya? Dan apakah politik wali murid di Pirriwee Public School masih akan didominasi perseteruan lama?

Pertanyaan-pertanyaan menarik, yang mungkin terjawab dalam adaptasi novel ini ke serial HBO berjudul sama. Namun, jika ada kesempatan, saya lebih tertarik untuk membaca sebuah kisah lanjutan dari Liane Moriarty tentang Jane, Madeline, atau Celeste alih-alih sekadar  menyaksikan versi adaptasinya di situs online streaming.

Sampai hari itu tiba, mungkin buku satu ini bisa jadi tempat pelarian baru bagi pembaca-pembaca yang ingin mengecap karya Liane Moriarty yang lain. Selamat membaca.

Posting Komentar

0 Komentar